Meski jumlah responden dari Banda Aceh belum mencapai target, tetapi pada hari
ketujuh saya harus mencari responden dari luar Banda Aceh, mengunjungi
masyarakat yang berada di seluruh Aceh.Tujuan pertama saya adalah kota
Lhoksumawe. Dari banda Aceh menuju Lhoksumawe saya menggunakan angkutan umum
L300 dengan tarif Rp. 55.000. Angkutan ini terhitung langka karena tidak setiap
jam ada keberangkatan menuju Lhoksumawe, waktu favourite adalah ketika
berangkat pada jam 8 pagi dan jam 9 malam.
Saya berangkat pagi, tepatnya jam 8.30 dengan berbekal 2 stel pakaian di ransel
dan berkas-berkas kuisioner. Selama dalam perjalanan, saya dapat melihat dengan
jelas bagaimana situasi daerah sepanjang banda Aceh-Lhoksumawe. Saya duduk di
depan bersama sopir dan seorang ibu yang usianya sekitar 50an tahun. Saya
sering bertanya kepada mereka tentang hal yang saya tidak ketahui dan kadang
menarik untuk dibicarakan sepanjang di perjalanan. Mobil melaju dengan
kecepatan rata-rata, tapi terkadang melaju cepat. Beberapa kali mobil terhenti
untuk menaikkan maupun menurunkan penumpang. Situasi lalu lintas yang saya
lewati terlihat cukup ramai dan kondisi jalanpun lumayan baik, meski tidak
sebaik jalan tol. Namun meski jalanan tidak macet, tetapi cuaca yang panas
membuat diri merasa tidak nyaman.
Ketika melewati kabupaten Pidi dan Pidi jaya, pemandangan yang sering dijumpai
adalah banyaknya sapi yang berkeliaran di jalan raya. Heran dan sempat bertanya
ke pak sopir, siapa sebenarnya pemilik sapi-sapi tersebut?apakah mereka tidak
takut kehilangan sapi –sapi mereka?menurut saya enak sekali menjadi peternak di
Aceh, mereka tidak perlu mencarikan rumput untuk sapi, karena sapi mereka
terbiasa mencari makan sendiri. Kita bisa melihat bahwa tidak hanya seekor
sapi, tetapi sering terlihat sapi-sapi bergerombol di pinggir jalan. Sapi-sapi
itu terlihat sedang mencari makan di rumput-rumput yang tumbuh di sepanjang
pinggir jalan. Namun kadang kita melihat mereka juga sekedar duduk di pinggir
jalan sambil asyik bercengkerama dengan kawan mereka...tersenyum juga melihat
ulah sapi-sapi itu...ternyata tidak hanya manusia yang nongkrong di pinggir
jalan, di Aceh sapi pun tidak mau ketinggalan nongkrong..he3.
Bang Jol, nama sopir yang membawa mobil yang saya tumpangi juga bercerita bahwa
sebenarnya keberadaan sapi-sapi tersebut sering menimbulkan masalah. Apalagi
jika malam hari, sapi sering berada di tengah jalan sehingga membuat pengemudi
kendaraan kaget dan tidak dapat menghindari terjadinya kecelakaan. Karena
menghindari Sapi, kadangkala mobil menjadi rusak ketika mobil dibelokkan ke
arah parit maupun pembatas jalan. Ironisnya, segala kerugian ditanggung oleh
pemilik kendaraan, pemilik sapi tidak pernah bertanggung jawab, bahkan kadang
tidak ada yang mengakui siapa yang memiliki sapi tersebut.Sehingga kata bang
Jol,karena di Aceh banyak Sapi/lembu, maka plat nomor kendaraan Aceh yaitu BL,
sering diplesetkan dengan singkatan Banyak Lembu..he33.
Dalam perjalanan, saya sering merasa menjadi orang bodoh, saya hanya menjadi
pendengar ketika para penumpang asyik berbicara dalam bahasa Aceh. Bang Jol
sempat bertanya apakah saya bisa berbahasa Aceh, saya jawab belum bisa.
Sehingga dia mengajarkan beberapa kata dalam bahasa Aceh. Yang saya ingat kata
batu menjadi bate, makan menjadi panjebu, aku pergi manjadi lu njak..sedangkan
kata yang lain, saya sudah lupa..he33. Menurut saya agak sulit untuk menghapal
bahasa Aceh dan sering terdengar aneh dan lucu.
Empat jam kemudian, mobil yang saya tumpangi berhenti di sebuah warung makan.
Ya, kami makan siang di tempat itu. Makan serba lauk ikan dengan harga hanya
Rp. 10.000. Soal rasa, menurut saya biasa aja, lumayan enak dan
mengenyangkan...he3. Kira-kira hanya setengah jam kami berada di rumah makan
itu kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Dan sekitar satu setengah jam
kemudian mobil kamipun berhenti di sebuah masjid untuk menunaikan shalat zuhur.
Sempat bingung dan shock juga ketika mencari tempat wudhu wanita. Selain kotor
dan bau tidak enak, tempatnya juga tidak nyaman. Tapi tetap bersyukur, saya
dapat wudhu dengan air cukup dan dapat menunaikan shalat.Oia, di sepanjang
jalan yang saya lewati, mayoritas masjid di Aceh tidak mempunyai tembok,jadi
terlihat terbuka dan memiliki banyak tiang.
Setelah menempuh perjalanan selama tujuh jam, akhirnya sekita pukul 3 sore saya
sampai di terminal Lhoksumawe. Bang Jol mengantarkan saya ke sebuah loket
namanya Mandala, yang bisa dijadikan tempat untuk menunggu kawan saya datang
menjemput.Sempat menunggu di loket tersebut kira-kira 20 menit, hingga akhirnya
kawan saya datang menjemput. Namanya kak Rohaya atau Aya, guru salah satu
sekolah di Lhoksumawe. Kami baru saja kenal via SMS beberapa jam sebelum saya
sampai ke Lhosumawe, wallahu’alam tapi kami sudah merasa kenal lama. Saya
mendapatkan kontak dia dari pak Fuadi Sulaiman anggota DPR di banda Aceh dari
PKS yang memberikan beberapa nomor yang bisa dimintai bantuan selama saya
mengunjungi daerah-daerah di Aceh, syukran katsiran pak Fuadi atas info yang
sangat berharga ini. Sebelum meninggalkan loket, seorang bocah laki-laki berumur
sekitar 8 tahun datang menghampiri saya. Ternyata dia meminta uang, pekerjaan
meminta sedekah ini di Aceh menjadi hal yang sering kita lihat..
memprihatinkan.
Dengan dibonceng sepeda motor Supra, kamipun meluncur menuju responden. Saya
menginap di rumah kak Aya yang tinggal tidak jauh dari pantai, sehingga kami
selalu melewati pantai selama di kota Lhoksumawe. Oia, peraturan pemakaian helm
di kota ini tidak begitu ketat.Polisi hanya rasia di jam-jam tertentu saja
itupun di lokasi yang tertentu pula yang bagi pengguna motor sangat
menguntungkan karena mereka dapat mengantisipasi dari awal. Kalo ada polisi,
mereka akan memakai helm, jika tidak ada merekapun tidak perlu menggunakan.
Pada umumnya kesadaran memakai helm masyarakat Lhoksumawe masih kurang, bukan
karena untuk melindungi kepala mereka, tetapi lebih kepada karena kepatuhan
lalu lintas.
Antara kota Lhoksumawe dengan Aceh Utara sangat dekat, banyak kantor-kantor
pemerintah Aceh Utara berada di kota Lhoksumawe. Hal ini memudahkan saya untuk
mendapatkan responden dari dua kota tersebut dalam satu kawsan. Alhamdulillah,
saya dapat berjumpa dengan koresponden dari ketua MPU, Ketua Muhammadiyah,
Ketua NU, Ketua DDI, anggota dewan dari partai Demokrat dan Partai Aceh,
beberapa pebisnis dan tidak ketinggalan kalangan dosen. Alhamdulillah tidak
sulit untuk menemui mereka. Awalnya memang saya harus mendapatkan nomor telepon
para responden terlebih dahulu sehingga lebih mudah bagi kami untuk menentukan
waktu dan tempat untuk mengisi kuisioner. Melakukan pertemuan dengan mereka di
kantor MPU, masjid, kantor walikota, rumah mereka, kantor DPR dan juga tempat
usaha.
Sempat saya singgah di museum Hasybi Assidiqui, seorang ilmuwan muslim yang
berasal dari Lhoksumawe, yang terkenal dengan pendapat beliau bahwa pembayaran
zakat itu harus berdasarkan standar emas. Kota Lhoksumawe konon diisi oleh
banyak pendatang, hanya sedikit yang merupakan warga asli Aceh. Tentang
makanan, saya senang di sini karena menu makanan yang dijual di kedai-kedai
sederhana maupun kafe sangat lengkap, hampir makanan yang terkenal dari setiap
daerah ada di sini. Saya sempat membeli bakso, makanan kesukaan saya,
enak...harga makanan di sini lebih murah dibandingkan di Banda Aceh.Pemandangan
tragis juga saya lihat kembail, yaitu seorang laki-laki cacat kaki dan ibu tua
mengemis di kantor DPRD Aceh Utara, bahkan sampai masuk ke ruang anggota
dewan..memprihatinkan, kenapa Aceh dimana-mana bisa begini ya?ck...ck.
Dari Selasa sore saya sampai di Lhoksumawe, Kamis pagi kemudian saya
melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Jazakillah khair untuk kak Aya, bu
Ratna, Abu Musa, Abi dan juga responden-responden yang lain.By Yuni YF
Read More